Minggu, 24 Januari 2016

GARIS KEHIDUPAN





Antologi cerpen hasil event tema"Goresan Kehidupan". 
========================

Judul : Garis Kehidupan
Penulis : Seli Nurpiati, Luhdiah Prihatin Umaroh, Dinni Ramayani, dkk
Editor : Selly Anggraeni
Desain Layout : IsyKarima Crew
Desain Cover : DroFT
ISBN : 978-602-6780-19-5
Tebal buku : vi + 183 halaman 13 x 19 cm
=========================


-Harga :
  • Rp. 47.000,- (Khusus Kontributor)* 
  •  Rp. 50.000,- (Non Kontributor)*
    *Belum termasuk ongkir.
     
-Ongkos kirim

  • 1 eks. buku: 15.000,-
  • 2-3 eks buku: 20.000,- 
  •  3-5 eks. buku: 25.000,- 
  •  >5 eks. buku: Menyesuaikan
Note: Pembelian minimal 2 eks. buku, akan kami beri 5 e-book gratis yang akan kami kirim melalui email pemesan.
========================

Format Pemesanan:
Garis Kehidupan#Nama Lengkap#Alamat Lengkap+ kode pos#No. HP#Jumlah pesanan.
Kirim ke 0856 432 76467 atau Silakan Inbox kami

========================

Para Kontributor:
Seli Nurpiati - Luhdiah Prihatin Umaroh -
Dinni Ramayani - Yoza Fitriadi - Irfan Rizky - Hermi Nurwulan - Nia Ulfi Fauziah - Nisa'ul Afiah Septiana - Yayang Filla Ardhinata - Irma Mutiara Sari - Khenzy Kiki - Siti Mutmainnah Sunar - Laeli Choerun Nikmah - Hutri Cika Agustina Berutu - Mazroatul Khusni - Hijrah Anggraini Nashuha - Mariani Umaimi Hasibuan
========================

Sinopsis:
Hari mulai sore dan ayah sudah berada di suatu tempat lain, ayah memulung botol-botol yang tak terpakai lagi, dirinya bahkan rela membuka tempat sampah demi sebuah botol bekas. Aku tak bisa menghentikan tangisanku. Kenapa ayah berbohong? Katanya ayah selalu bahagia. Ayah selalu memiliki uang. Ayah sudah makan banyak. Tapi nyatanya? Sampai sore begini saja ayah belum makan sesuap nasi pun. Oh Tuhan, mengapa aku begitu bodohnya sampai tertipu akan acting ayah?
Bertahun-tahun hidup seperti ini. Tujuhbelas tahun hidup dalam kesendirian sebagai orang tua. Goresan kehidupan yang kejam pasti membuat ayah banyak menorehkan luka. Aku yakin itu. Dan aku baru mengerti saat usiaku sudah menginjak masa remaja akhir seperti ini.
Menjelang malam aku segera pulang kerumah. Aku tak boleh didahului ayah.
“Ayah lelah?” aku tanya ayah saat itu setelah ayah datang sambil menahan air mata yang bisa saja turun tanpa permisi. Penampilannya sudah berganti lagi. Kali ini penampilannya sama seperti saat ayah mengantarku ke sekolah tadi pagi.
“Tidak. Ayah hanya duduk saja dikantor ha . . . ha . . .!” Ayah tertawa seperti biasanya.
“Ayah tak usah berbohong! Aku tau Ayah berbohong!” tak dirasa air mata telah turun. bendungan air mata yang dipertahankan akhirnya roboh juga saat itu. Ayah terdiam. Heran melihatku menangis. 



Load disqus comments

0 komentar